
Di balik setiap produk yang kita gunakan—entah itu kopi, smartphone, atau pakaian—tersembunyi rantai pasok yang kompleks dan panjang. Rantai ini melibatkan berbagai entitas: petani, produsen, distributor, hingga pengecer. Di tengah proses yang begitu rumit, kepercayaan menjadi fondasi utama. Namun, bagaimana jika kepercayaan itu bisa dibangun bukan hanya lewat komitmen, tapi lewat sistem yang tak bisa dimanipulasi? Inilah janji besar dari teknologi blockchain dalam dunia supply chain.
Blockchain adalah sistem pencatatan digital yang terdesentralisasi, transparan, dan tidak dapat diubah. Setiap transaksi atau aktivitas dicatat dalam blok yang saling terhubung dan diverifikasi oleh banyak pihak. Dalam konteks rantai pasok, ini berarti setiap pergerakan barang—mulai dari produksi, pengemasan, pengiriman, hingga penjualan—dapat dilacak dengan detail dan keotentikannya dijamin.
Salah satu contoh paling relevan datang dari sektor makanan. Walmart, bersama IBM, mengembangkan sistem Food Trust berbasis blockchain untuk melacak produk segar dari ladang ke rak supermarket. Dalam uji coba, waktu pelacakan asal produk mangga yang semula memakan waktu 7 hari dipersingkat menjadi hanya 2,2 detik. Hasilnya? Kemampuan respons cepat terhadap isu kontaminasi makanan, perlindungan konsumen, dan peningkatan efisiensi operasional.
Di sektor lain seperti farmasi, blockchain menjadi kunci dalam mencegah peredaran obat palsu. Dengan sistem verifikasi berbasis blockchain, setiap obat memiliki jejak digital yang tak bisa dipalsukan, dari pabrik hingga ke tangan pasien. Hal serupa diterapkan dalam industri logistik, di mana blockchain digunakan untuk mencatat dan mengamankan dokumen pengiriman (bill of lading), mengurangi risiko penipuan dan kehilangan data.
Selain transparansi, blockchain juga menjawab kebutuhan akan keamanan. Karena datanya tidak tersimpan di satu server pusat, risiko peretasan atau manipulasi data menjadi jauh lebih kecil. Smart contract—fitur unik dalam blockchain—juga memungkinkan otomatisasi pembayaran atau validasi pengiriman hanya jika kondisi tertentu terpenuhi, tanpa intervensi manusia.
Namun, adopsi blockchain dalam supply chain tidak lepas dari tantangan. Diperlukan investasi awal yang besar, penyesuaian infrastruktur, dan kolaborasi lintas entitas. Meski demikian, manfaat jangka panjangnya sangat menjanjikan—baik dari sisi efisiensi, kepercayaan, maupun keberlanjutan operasional.
Di masa depan, blockchain bukan hanya menjadi teknologi tambahan dalam supply chain, tetapi pondasi sistem logistik digital yang terpercaya. Ia tidak hanya mencatat transaksi, tetapi menciptakan transparansi yang mendorong tanggung jawab, mengamankan data dari hulu ke hilir, dan membangun kepercayaan di setiap mata rantai.
Referensi Ilmiah
- Kshetri, N. (2018). 1 The emerging role of big data in key development issues: Opportunities, challenges, and concerns. Big Data for Development.
- Tian, F. (2017). A supply chain traceability system for food safety based on HACCP, blockchain & Internet of things. 2017 Int. Conf. on Service Systems and Service Management.
- Saberi, S., et al. (2019). Blockchain technology and its relationships to sustainable supply chain management. International Journal of Production Research.
- IBM Blockchain. (2022). Food Trust: Building a smarter, safer food supply.
- Accenture. (2021). How Blockchain is Revolutionizing the Supply Chain.